Minggu, 01 Juni 2014

Sebuah Catatan Kecil: Pengajian Haul XV KH. Abdul Hadi bin K. Syafii

              Malam itu, tepatnya hari Jumat, 30 Mei 2014 suasana pondok pesantren Wahid Hasyim berbeda dengan hari-hari biasa. Halaman pesantren dipenuhi oleh para jamaah yang sebagian besar berpakaian serba putih. Mereka adalah santri PP. Wahid Hasyim, masyarakat, dan juga jamaah mujahadah dzikrul ghofilin. Kedatangan mereka tidak lain untuk turut mendoakan almarhum almaghfurlah KH. Abdul Hadi bin. K. Syafi’i sebagai pendiri pesantren Wahid Hasyim.
      Dalam kesempatan pengajian Haul XV almaghfurlah KH. Abdul Hadi bin K. Syafi’i, bapak Dr. KH. Shofiyullah Muzammil selaku penceramah menyampaikan banyak hal. Ada beberapa hal yang penulis tangkap dari apa yang disampaikan beliau.
            Di awal, beliau menyampaikan tentang perbedaan kenapa kalau rasul itu yang diperingati hari lahirnya, sedangkan kyai yang diperingati adalah hari wafatnya. Beliau mengungkapkan kenapa seperti itu karena seorang rasul itu ma’sum, artinya terjaga. Sejak rasul lahir saja memang sudah menunjukkan keajaiban-keajaiban yang ada pada dirinya, sampai pada beliau wafat tetap terjaga baik dalam tingkah laku dan tutur katanya. Sedangkan, seorang kyai tak selamanya terjaga. Banyak sekali ternyata yang dulunya kyai, tapi pada akhirnya tergoda oleh godaan dunia, baik itu harta atau wanita. Fakta demikian menunjukkan bahwa seorang kyai tak selamanya bisa terjaga sampai beliau wafat. Oleh sebab itulah hari wafatnya yang diperingati.
            Adanya peringatan Haul XI KH. Abdul Hadi ini, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dari almarhum, bagaimana tingkah laku dan tutur kata beliau semasa hidupnya, betapa besar jasa-jasa dan perjuangannya untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat. Dengan istiqomah, almarhum melakukan ibadah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat. Begitulah faktanya, sehingga almarhum memang layak untuk dihauli dan didoakan oleh para jamaah tiap tahunnya.
Refleksi:
            Dari paparan diatas, lalu TIMBUL PERTANYAAN, KIRA-KIRA KALAU KITA SEMUANYA INI MENINGGAL KELAK  AKAN DIHAULI TIDAK YA? Jawaban atas pertanyaan demikian adalah ada pada diri kita masing-masing. Sudahkah kita bertingkah laku, bertutur kata yang baik. Sudah banyakkah amal sholih kita, sudah banyakkah jasa-jasa kita untuk mengajarkan Islam. Sedikit flash back melihat fenomena wafatnya Gus Dur, membuat kita tercengang memang. Ketika beliau wafat, ribuan orang dari penjuru  tanah air berbondong-bondong untuk memberikan penghormatan  terakhir kepada beliau. Dari para pejabat, presiden wakil presiden sampai pada orang kecil semuanya turut untuk memberikan penghormatan terakhir dan mendoakan beliau. Tak cukup hanya sampai disitu, bahkan sampai saat ini makam Gus Dur masih menjadi tempat yang selalu diziarahi oleh masyarakat, tak henti-hentinya para peziarah mendoakan almarhum. Sungguh, luar biasa yaa…
            Tak berhenti sampai disini, walaupun Gus Dur sudah wafat tapi manfaatnya masih dirasakan oleh masyarakat. Roda perekonomian masyarakat khususnya di Jombang menjadi terangkat. Hal ini dikarenakan banyak yang menjadi pedagang di area jalan menuju makam Gus Dur. Ya..kembali lagi bertanya, apakah kelak kalau kita meninggal juga akan seperti itu terus didoakan dan membawa manfaat untuk orang lain?
Apa yang harus dilakukan?
            Lalu, apa yang harus kita lakukan supaya seperti beliau-beliau diatas? Pastinya kita juga ingin, ketika meninggal nanti banyak yang mendoakan kita sehingga meringankan beban kita diakhirat.
Setidakanya, pak Shofi menyampaikan 3 hal yang sebenarnya ini juga sudah familier di telinga kita.
Yang pertama, shodaqoh jariyah. Kita harus perbanyak shodaqoh jariyah. Shodaqoh yang paling efektif adalah untuk pembangunan masjid/ pesantren atau memberikan bantuan untuk menopang aktivitas pendidikan. Sejauh masjid itu digunakan untuk ibadah maka pahala orang yang beribadah juga akan mengalir kepada diri kita. Sejauh bantuan itu digunakan untuk aktivitas pendidikan dan masih berlangsung, maka pahala orang yang menjalankan aktivitas pendidikan itu secara otomatis juga akan mengalir ke diri kita, tanpa mengurangi pahala orang yang bersangkutan. Sungguh, fenomenal bukan..
Kedua, ilmu yang bermanfaat. Sejauh kita mengajarkan ilmu yang itu lalu terus diamalkan, maka pahala orang yang mengamalkan ilmu itu juga akan mengalir ke diri kita. Pak Shofi, mencontohkan agar para orang tua bisa mengajari surat Al fatihah kepada putra-putrinya, jangan diserahkan ke ustadz, karena al fatihah itu dibaca setiap hari dalam sholat dan peribadatan, sehingga ketika anak membacanya maka otomatis orang yang mengajari pertama kalinya juga akan turut mendapatkan pahala. Subhanallah..
Ketiga, anak sholih dan sholihah. Kalau kita mempunyai anak yang sholih dan sholihah maka itu adalah sebuah aset yang besar. Anak-anak kitalah yang nantinya akan mendoakan kita baik ketika kita hidup di dunia sampai ketika kita meninggal. Betapa senangnya, kalau anak-anak kita selalu mendoakan kita.
            Selanjutnya, pak Shofi juga menyampaikan tentang fenomena yang berkembang saat ini. Beliau menyampaikan, kalau para kyai-kyai yang alim itu sudah yang meninggal, maka akan muncul kyai tiban. Kyai yang hanya berbekal sorban dan polesan ala kyai dan tampil di TV. Dengan enaknya bisa menjawab segala permasalahan tanpa sebuah ilmu yang melandasinya. Jika yang terjadi seperti itu, maka yang terjadi adalah sesat dan menyesatkan. Masyarakat akan tersesat menjalankan ajaran agama yang salah. Makanya, sebagai seorang santri hendaknya kita terus menuntut ilmu sampai khatam. Jangan sampai bangga, terkadung ditokohkan dan dikyaikan, lalu menjadi enggan lagi untuk menuntut ilmu dan mengaji. Untuk itu, santri Wahid Hasyim diharapkan mampu pelopor untuk mencetak alumni yang cerdas dan tentunya berakhlak mulia. Karena banyak orang yang pinter tapi keblinger, ini karena moralitas atau akhlaknya tidak diperhatikan.
            Itulah sedikit uraian singkat apa yang disampaikan oleh bapak Shofi. Sebenarnya, masih banyak yang belum tertuliskan di lembar ini. Namun, karena terbatasnya space dan waktu maka dicukupkan sampai sini dulu ya... Mari, melalui peringatan Haul XI KH. Abdul Hadi kita terus berupaya meneladani beliau, meneruskan perjuangan beliau, menjadikan Yayasan PP. Wahid Hasyim ini menjadi ladang beramal, mengabdi, berkhidmah untuk menghasilkan lulusan-lusan yang benar-benar berkualitas baik intelektual dan mental spiritualnya.
Terakhir…
Kita ucapkan YES…I CAN…!!!
Diawali sebuah keyakinan yang kuat dan usaha yang maksimal, semoga apa yang menjadi visi misi YPPWH bisa tercapai. Amin.


PP. WH, 31 Mei 2014

1 komentar:

Rizqi Akbarsyah mengatakan...

Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Pak Shofi, bahwa sekarang semakin dibutuhkan Ustadz yang bener-bener menguasai ilmu keagamaan dan mengamalkannya, bukan Ustadz yang hanya populer di media saja.

Aku nyesel banget dulu nggak selesai ngajinya di pondok. Semoga bisa belajar terus dimanapun aku berada.

Maturnuwun pak Mansur, tulisannya mantap dan bermanfaat banget! :)