Sebut saja ia Yudha, laki-laki kecil, tidak tinggi
seperti teman-temannya kebanyakan. Ia
adalah siswa kelas VIII MTs Wahid Hasyim Yogyakarta. Dia termasuk salah satu
anak yang terhambat pertumbuhan pubertasnya. Bagaikan kembang, dia belum mekar.
Ditambah lagi dengan wajah imutnya yang manis, membuatnya ia tampak seperti
anak MI. Sejak MI kelas 3 ia ditinggal oleh ayahnya. Ayahnya meninggal karena
terjangkit penyakit stroke. Ibunya sendirian di rumah menanti kesuksesan Yudha
kelak. Dengan kepergian ayahnya, kehidupan keluarga Yudha pun menjadi serba
kekurangan.
Tak terasa, setelah lulus MTs Wahid Hasyim ia langsung
melanjutkan ke MA Wahid Hasyim. Lulus Aliyah, ia melanjutkan kuliah di UIN
dengan program beasiswa. Sekarang ia menginjak bangku semester 2. Suatu ketika
di pesantren Wahid Hasyim tempat Yudha tinggal, tibalah saatnya malam Rabu.
Ustadz Salim datang dengan wajah berseri-seri, serasa sudah siap mengajar
dirosah Risalatul Mahid malam itu. Tampak Ardilla, dengan kerudung pink yang menawan dengan silau
kacamatanya menambah keanggunan dirinya. Ia adalah teman Yudha sejak duduk di
bangku MTs dulu.
Pada saat ngaji berlangsung, mata Yudha perlahan merapat. Terlelaplah Yudha di meja ngaji
nya. Rasa capek dan kantuk tercermin dalam raut mukanya, karena ia
menghabiskan waktu siangnya untuk bekerja dan kuliah. Pagi, sebelum kuliah ia
berjualan koran di perempatan Janti, dilanjutkan dengan kuliah, dan diteruskan mengajar TPA
di sore harinya.
Temannya berbisik, “Lihat, Yudha tertidur tuh?”
“Biarin aja, biar Ustadz Salim tahu, biar tahu rasa dia.
Hi..Hi..Hi...” Bisik teman sebelahnya.
Di tengah terlelapnya Yudha, ustadz Salim memberikan
pertanyaan kepadanya dengan maksud agar Yudha terbangun.
Seraya bertanya, “Yudha, apa tanda-tanda baligh bagi
perempuan?”
Yudha terbangun terperanjat, seperti orang linglung dengan raut muka
kemerah-merahan. Yudha menengok kanan kiri, tak tahu maksudnya. Mata semua
temannya pun terpusat pada dirinya dan seketika teman-temannya menertawakannya.
“Ha....ha....ha....!!!”
Dan ada satu orang santri putra yang angkat bicara, “Jangankan
tanda-tanda baligh bagi perempuan pak, tanda-tanda baligh bagi laki-laki saja
nggak tahu pak?” Seisi kelas pun gaduh dibuatnya.
Lagi-lagi ada yang berceloteh, “Maklum, anak kecil kok
ditanyain pak? Kan belum baligh.”
Gelak tawa teman sekelas meramaikan suasana kelas.
Teman-temannya mempermalukannya di depan umum. Yudha pun termangu, seraya
menundukkan kepala, menyimpan rasa malu yang ditanggungnya.
Keesokan harinya, seperti biasa ia bergegas untuk
berjualan koran di perempatan Janti. Sebelumnya ia berpamitan dulu dengan teman akrab satu
kamarnya, sebut saja Ian. Ia selalu memberikan dukungan atas segala usaha dan
jerih payah yang ia lakukan.
“Ian, aku berangkat dulu ya. Doakan biar hari ini
korannya laku banyak. Wassalamu’alaikum...” Ungkap Yudha.
“Iya Yudh, tak doakan deh, semoga hari ini laku banyak,
Wa’alaikumussalam.”
Terik panas matahari semakin tajam menyorot kulit hitam
Yudha. Keringat terus bercucuran dari lehernya, seketika mengusap keringat di
lehernya dengan tangan kanannya. Ia pun
memutuskan untuk beristirahat di pinggir trotoar sembari membaca artikel di
koran Kedaulatan Rakyat (KR). Ia memfokuskan bacaannya pada sebuah artikel
pendidikan yang ditulis oleh mahasiswa UNY. Impiannya melayang, ia membayangkan
foto dan tulisannya terpampang di koran itu.
“Aku pasti bisa menjadi seperti ini, aku akan menulis dan
suatu saat pasti akan dimuat di koran ini.” Bisiknya
dalam hatinya.
Sejak saat itulah tumbuh motivasi menulis dan kegigihan
yang tinggi untuk menulis artikel di surat kabar. Hari-hari berikutnya, Yudha
selalu mengirimkan tulisannya ke koran KR, berkali kali ia mengirimkan
karyanya, walaupun hasilnya nihil. Dia pun hamper putus
asa, tak satupun karya yang berhasil dimuat media.
Lalu tibalah malam
Jumat. Malam di mana waktu digunakan untuk rapat lembaga. Yudha pun tidak
ketinggalan, ia mengikuti rapat LPM Wahid Hasyim untuk membahas acara Takbir
Keliling di desa binaan LPM. Kebetulan ia menjadi koordinator seksi acara
bersama dengan Ardilla, santri putri dari asrama Halimah yang juga kuliah di
UGM. Mereka kompak untuk membahas persiapan acara untuk Takbir Keliling.
Ardilla sebenarnya sudah menyimpan perasaan cintanya kepada Yudha sejak ia MTs
kelas IX, namun ia tak berani mengungkapkan secara langsung kepada Yudha. Sudah
banyak santri putra yang mengungkapkan perasaan cintanya, tapi semuanya ia
tolak. Ia hanya mencintai Yudha. Ia memandang sosok Yudha yang gigih dan
pantang menyerah dalam menghadapi cobaan yang ada.
***
Dalam perjalanannya, sampai pada kelas Ulya. Yudha pun
masih tak tahu bahwa sebenarnya ada orang yang mencintainya di luar
sepengetahuannya. Ketika itu satu minggu menjelang wisuda madin, Yudha mendengar
kabar bahwa ibunya sakit keras dirumah. Lagi-lagi cobaan menimpa Yudha. Yudha harus
pulang. Ketika perjalanan pulang, ponselnya bergetar.
Lalu perlahan ia buka pesan masuk, ternyata SMS dari
pamannya.
“Yudh…maaf, ibumu baru saja berpulang ke Rahmatullah,
cepat pulang. Semoga segala amal ibumu diterima di sisinya.”
Membaca tulisan tersebut, tetesan air mata terus mengucur
dari kedua kelopak matanya. Ia tak mampu menahan rasa sedih tidak bisa berjumpa
dengan sang ibu yang selalu merindukan kesuksesannya. Sampai rumah ia menjumpai
sang ibu sudah terbungkus kain kafan.
Ia hanya bisa meratapi kepergian sang ibu, seraya berkata,
“Ibu, maafkan aku, aku belum bisa membahagikanmu, semoga engkau mendapatkan
tempat terbaik di surga. Aku berjanji bu, aku akan menjadi orang yang sukses
seperti harapanmu.”
Teman-temannya berdatangan ke rumahnya untuk memberikan
ucapan bela sungkawa, tak terkecuali Ardilla.
Ditengah-tengah kepergian kedua orang tuanya, Yudha tetap
berusaha untuk menyelesaikan studinya, walaupun dengan banting tulang berjualan
koran, ditambah pekerjaan sambilan yang lain, berdagang baju dan donat di
sela-sela kesibukannya mengaji, kuliah dan berorganisasi.
Suatu ketika, HP Yudha bergetar menandakan ada SMS masuk.
Ia langsung membuka SMS dengan penasaran.
“Asslkm.
Mas, besok tulisan anda
dimuat di KR peduli
pendidikan tanggal 25 April 2012. Selamat. Dan teruslah berlatih
menulis. TTD pengurus Redaksi KR.”
“Horee. Horee, alhamdulillah Ya Allah. Terimakasih Ya Allah….”
Dengan bahagianya, Yudha bersorak menunjukkan kebanggaan
yang luar biasa. Ekspresi kebahagiannya menutupi kesedihan karena cobaan yang
begitu berat yang baru saja menimpa dirinya. Sejak saat itulah, tulisan-tulisan
Yudha terus dimuat di surat kabar baik lokal maupun nasional, sehingga dengan
honor menulis yang ia peroleh dari media, ia bisa menyelesaikan studi strata
satunya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
***
3 tahun kemudian....
Tak lama setelah Yudha lulus S1 di UIN, dia langsung
merampungkan S2nya di UNY di bidang pendidikan. Di saat ia merampungkan S2nya,
ia sudah menjadi penulis buku best seller dan segera ditarik untuk menjadi
dosen di Perguruan Tinggi ternama di Purworejo.
Tibalah saatnya ia harus boyong. Ia pun harus berpamitan
pada pak Kyai untuk kepulanganya. Ia pun bergegas menuju ndalem kediaman pak Kyai.
Sini masuk Nak, ada apa kok pagi-pagi kesini. Biasanya kan
bapak yang nyuruh kamu kesini. Kok sekarang kamu menyempatkan diri kesini, ada
apa gerangan nak…? Tanya pak Kyai.
Hemm…aa..anu pak..Jawabnya bimbang.
Anu anu kenapa…ngomong saja Nak.” Tutur pak Kyai.
Iya pak….saya mau izin pamitan pulang ke rumah pak,
Alhamdulillah kuliah S2 saya sudah selesai, ngajinya juga sudah selesai di
Ma’had Aly pak. Nyuwun doa restune bapak nggih…”
Nak, Nak Yudha...kok keburu2 pulang…memang sudah punya calon
ya….???Tanya pak Kyai.
Yudha pun sambil malu-malu menjawab pertanyaan pak Kyai,
“Be..Belum pak…”
Naahh..itu,,,belum dapat calon kok sudah keburu boyong. Mau
tidak kamu tak jodohkan dengan Ardilla, santri Halimah. Dia cantik, pinter,
hapal Qur’an lagi…hayoo mau tidak?
Yudha pun masih bimbang, dia tertegun sambil berpikir. (Lho…Ardilla kan temenku sejak MTs itu…emang
dia mau sama aku? Banyak laki2 yang sudah mengatakan cintanya, tapi ia tolak,
apalagi aku)
Bagaimana nak…? Tanya pak Kyai kembali.
Dengan proses berpikir keras, Yudha pun menerima permintaan
perjodohan pak Kyai. Mendengarkan jawaban Yudha, pak Kyai tersenyum dan beliau langsung memanggilkan
Ardilla melalui rewangnya untuk menuju ke ndalem.
Seketika Ardilla tiba di ndalem. Ardilla tak menyangka,
ternyata di ndalem sudah ada sosok Yudha, laki-laki pujaanya yang ia pendam
sejak dulu dalam hatinya.
Nak Ardilla…sini duduk. Nak, kamu mau tidak tak jodohkan
dengan nak Yudha.” Dia santri kesayangan pak Kyai.
Ardilla kaget mendengar ucapan pak Kyai…
Dia hanya terdiam dan bingung menjawab pertanyaan pak Kyai,
walaupun sebenarnya ia juga mencintai Yudha. Pak Kyai menegaskan lagi
pertanyaannya, Bagaimana nak Ardilla, mau tidak dengan nak Yudha?”
Setelah lama berpikir akhirnya, Ardilla tersenyum sambil
menjawab, Inggih pak Kyai..”
Pak Kyai pun sangat lega, mendengar jawaban Ardilla. Iya…sekarang kalian sudah sama-sama mau dan
rela kan? Sebelum nak Yudha boyong, kalian persiapkan resepsi pernikannya
ya…pak Kyai tunggu undanganya.” Tutur pak Kyai sambil tersenyum.”
Yudha dan Ardilla pun berpamitan dari ndalem menuju
asramanya masing-masing. Sebelum Yudha boyong, Yudha dan Ardilla pun menjalin
hubungan silaturrahim sampai akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih
menuju mitsaqon gholizho, yaitu
sebuah pernikahan. Memang jodoh adalah rahasia Allah, Allah tahu apa yang
terbaik untuk kita. Allah punya cara tersendiri untuk mempertemukan kita pada
jodoh yang terbaik.