Oleh: Muhammad Mansur
Tumpukan
sampah yang terletak di sudut-sudut pemukiman penduduk menjadi sesuatu yang
harus dihadapinya setiap harinya. Wanita paruh baya berbaju kumal dan anaknya
perempuan lulusan SMP itupun
mengais-ngais rezeki diantara tumpukan sampah nan bau itu. Dengan
cucuran keringat di wajah dan lehernya, keduanya berusaha mengumpulkan
botol-botol bekas untuk ditukarkan dengan uang receh guna menyambung hidupnya.
Sejak ditinggal mati suaminya, ibu satu anak ini harus memperjuangkan hidupnya
dengan menjadi pemulung sampah bersama anak perempuanya. Ibu paruh baya ini
sengaja memberi nama anak perempuannya dengan nama Kartini Wulandari dengan
harapan ia menjadi sosok yang tegar seperti RA. Kartini yang berjuang demi memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan.
Namun, semenjak kepergian ayahnya.
Ia pun tak bisa melanjutkan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Padahal, ketika SMP, Kartini merupakan sosok siswa yang berprestasi dan
menonjol kemampuanya dalam hal menulis. Hobinya menulis diari sejak SD menjadikannya ia menjuarai berbagai
perlombaan kepenulisan tingkat SMP. Namun, naas..semuanya berhenti sampai ia
lulus SMP. Dengan alasan keterbatasan biaya, ia tak melanjutkan pendidikannya
ke jenjang SMA. Dan ia pun memutuskan untuk membantu ibunya menyambung
hidupnya.
Rumah yang kumuh di bantaran sungai
Code menjadi tempat melepas lelah dan kepenatan hidup. Wulan dan ibunya sudah
biasa tinggal bersama para pemulung lainnya dan juga para preman-preman Jogja
yang terkenal brutal.
Setelah seharian, Wulan dan Ibunya
mengais rezeki di tengah tumpukan sampah. Malam hari yang dingin pun melelapkan
keduanya di sebuah rumah yang kumuh di bantaran sungai Code. Di tengah lelapnya
tidur, Wulan pun bermimpi bersekolah bersama teman-temannya. Bercanda dengan
teman-temannya, bertegur sapa dengan bapak ibu guru. Mengenakan seragam sekolah
dengan rapi dengan sepatu yang baru. Ketika itu, tiba-tiba Wulan pun terbangun.
Ia pun menangis, ternyata yang ia alami adalah sebuah mimpi yang tak nyata.
Tetesan air matanya pun keluar deras dari kedua kelopak matanya.
Wulan pun bergegas mengambil buku
diarinya dan sekedar mencoretkan keresahan hatinya di buku diari warna biru
itu.
Ya Allah...aku mimpi bersekolah.
Tapi kenapa ini hanya mimpi Ya Allah
Aku ingin bersekolah seperti
teman-teman.
Bisa bercanda tawa, bertegur sapa
Belajar bersama dan tentunya
mendapatkan banyak ilmu.
Ya Allah...aku ingin seperti
anak-anak orang kaya itu.
Bisa bersekolah dengan seragam yang
bagus dan bersepatu.
Ya Allah...berikan jalan keluar agar
aku bisa bersekolah.
Aku pingin sekolahhhhhh.....
Yogyakarta,
21 April 2013
Tak
henti-hentinya ia menangis sambil menatap ibunya yang terlelap tidur. Ia tatap mata
ibunya yang mulai sayu dan kulit keriput yang mulai tampak di dalam raut
wajahnya. Ia tak tega melihat ibunya yang bekerja keras demi menyambung
hidupnya.
“Ya
Allah...kasihan sekali ibu. Ibu semakin tua..untuk hidup saja susah, apalagi
untuk bersekolah.” Batinnya pun berbicara seraya merenungi nasibnya yang
tak seuntung kawan-kawannya.
***
Keesokan
harinya...
Wulan dan
ibunya kembali bergegas menuju
tumpukan-tumpukan sampah yang ada di sudut perkotaan. Batin Wulan
menangis, ketika melihat teman-teman sebayanya berangkat sekolah. Ada yang jalan kaki, naik sepeda, diantar dengan
sepeda motor, bahkan dengan mobil mewah sekalipun. Wulan iri kepada teman
sebayanya yang bisa mengenyam pendidikan yang sewajarnya.
“Kamu
kenapa nak, kok terlihat sedih.” Tanya ibunya.
“Wulan
ingin sekolah bu..seperti mereka.” Jawab wulan dengan raut muka sedih.
“Sudah
nak...kamu jangan sedih, semoga suatu saat ada rezeqi dari Allah untuk kamu
sekolah. Allah maha adil nak...” Tutur sang ibu menenangkan hati anaknya.
“Iya
bu...amin.”
Setelah
usai memunguti botol-botol bekas, ia pun mengeluarkan buku diari birunya dari
dalam kantung kecil yang ia bawa. Sekedar hanya menuliskan keinginannya untuk
bersekolah.
***
Keesokan
harinya...
Ia
mengalami hal yang sama, batinnya menangis ketika melihat teman sebayanya bisa
bersekolah sedangkan dia harus memperjuangkan nasibnya untuk sekedar mencari
sesuao nasi untuk menyambung hidupnya.
Kejadian
itu pun selalu berulang-ulang ia alami, setiap pagi batinnya sakit ketika
melihat temen sebayanya bisa bersekolah. Wulan pun selalu menuliskan keresahan hatinya
dalam sebuah diari kecil kesayangannya. Sampai-sampai diarinya hanya terpenuhi
oleh goresan tangannya yang mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk bisa
bersekolah.
***
Suatu
malam, ibunya sakit. Sang ibu pun hanya bisa berbaring didalam rumah beralaskan
tikar sederhana. Tak ada tempat tidur atau sofa di rumah kumuh yang mereka
tinggali.
Ketika
Wulan hendak membelikan makanan untuk ibunya yang sedang sakit. Tiba-tiba ada
sejumlah preman yang mabok-mabokkan di jalan. Mereka pun menghadang Wulan.
Dengan keterbatasannya, Wulan tak bisa berkutik di keroyok oleh sejumlah preman
yang jumlahnya lebih dari 3 itu. Mereka menyeret Wulan kedalam rumah kosong.
Rupanya preman-preman yang terpengaruh miras itu hendak melakukan perbuatan tak
senonoh. Wulan pun berusaha dengan
sekuat tenaga berusaha menjerit dengan sekeras-kerasnya dan berusaha lepas dari
jeratan preman-preman itu. Gerombolan preman itu pun menganiyayanya dengan
pukulan keras, mukanya dan badannya pun memar terkena hempasan tangan-tangan
para preman.
Untung
warga sekitar pemukiman ada yang mendengar teriakan Wulan. Dan segera masuk ke
rumah kosong itu, lalu segera menyelamatkan Wulan. Preman-premanpun sempat
beradu fisik dengan warga, namun wargapun
ada yang dengan tanggap memberitahuka
kejadian ke polisi. Sehingga polisi pun dengan segera datang dan
meringkus para preman yang hendak berbuat tak senonoh kepada Wulan.
Hati Wulan pun semakin bergejolak
dan trauma atas kejadian yang menimpanya. Ia merasakan sakit fisik dan mental.
Sakit fisik karena badannya tersakiti oleh preman, sakit mental karana trauma
akan perbuatan tak senonoh yang akan di perbuat para preman kepada dirinya.
Namun, untung saja ada warga yang menolongnya.
***
Dengan
kondisi ibunya yang sedang sakit dan badannya yang memar karena dianiaya para
preman. Pada keesokan harinya Wulan tetep melakukan aktifitas rutinnya
memunguti botol-botol bekas di tumpukan sampah di sudut-sudut kota.
Menjelang
siang pun ia beristirahat di bawah pohon sambil menuliskan pengalaman pahitnya
di dalam sebuah diari birunya. Isi diarinya pun penuh dengan rasa keinginannya
untuk sekolah dan gejolak-gejolak hati yang menyedihkan. Tak ada satu pun yang
menyenangkan. Sungguh malang sekali, nasib gadis itu.
Terik panas matahari pun semakin
menyengat, perut pun semakin keroncongan. Wulan memutuskan untuk mencari makan
siang dengan uang receh yang tak banyak hasil penukaran botol bekas di pengepul
sampah plastik. Setelah selesai, ternyata Wulan tak menyadari kalau buku
diarinya tertinggal di sudut warung makan. Ia baru sadar kalau bukunya
tertinggal setelah ia sampai rumah.
Ia
pun bergegas kembali ke warung makan tadi untuk mengambil buku diari
kesayanganya. Tapi ternyata, setelah Wulan kembali ke warung makan, ia sudah
tak menemui diari kesayangannya. Wulan pun pulang dengan hati yang sedih,
bagaimana tidak tempat curahan hatinya selama ini menghilang. Diari itu
merupakan hal yang paling bermakna dalam hidupnya.
Ternyata
diari itu ditemukan dan dibawa oleh Kepala MA Wahid Hasyim Yogyakarta. Beliau
adalah Bapak. Agus Baya Umar, M.Pd.I. Beliau menemukannya saat makan siang di
warung makan yang bersangkutan dengan rekan-rekan guru.
Setelah
Bapak Agus membaca tulisan yang ada di dalam diari tersebut. Beliau sangat
trenyuh dan sangat tergerak hatinya untuk mencari keberadaan anak itu untuk di
sekolahkan di MA Wahid Hasyim Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim dengan
beasiswa pesantren.
***
Keesokan
harinya, bapak Agus bergegas mencari alamat yang tertulis dalam diari tersebut.
Tak butuh waktu lama untuk mencari alamat rumah tersebut. Beliau mengatakan
hendak menyekolahkan Wulan secara gratis di MA Wahid Hasyim melalui beasiswa
pesantren.
Wulan
sangat bahagaia dan takjub mendengarkan orang yang tak di kenalnya ingin
menyekolahkannya secara gratis, berkat membaca tulisan di diarinya.
“Horeee..horeee..aku
bisa sekolah....!!!
“Alhamdulillah
ya Allah...kau memang maha adil.
Wulan
bersorak kegirangan bisa bersekolah seperti teman-temannya. Kini mimpinya
menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar hayalan.
Ibunya
yang sedang sakit pun hanya bisa tersenyum melihat putrinya bisa kembali
bersekolah.
1 tahun
kemudian....
Tak
butuh waktu lama untuk Wulan untuk kembali berprestasi. Dalam kurun waktu satu
tahun Wulan berhasil mewakili lomba karya ilmiah mewakili MA Wahid Hasyim. Dan
berhasil menyabet juara 1 dalam lomba karya ilmiah yang diadakan oleh
Kemendibud.
Wulan
pun menjadi terkenal, berkat prestasinya menjuarai karya ilmiah tingkat
nasional. Media massa dan elektronikpun mempublikasikan kejuaaraanya. Ia pun
mendapatkan penghargaan dari presiden. Santunan beasiswa yang Wulan terima pun
bisa menjadikan kondisi hidupnya bersama ibunya lebih baik. Ibunya bisa berobat
ke rumah sakit dan sembub seperti sedia kala.
Ternyata, semua orang berhak
mengenyam pendidikan. Entah itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin,
semuanya berhak mendapatkan pendidikan. Dan ternyata dengan keterbatasannya
dari kalangan tak mampu, Wulan mampu menunjukkan prestasinya di kancah
nasional.
Yogyakarta, 21 April 2013 [23:26]
Bertepatan dengan hari Kartini. Selamat hari KARTINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar