Sabtu, 20 April 2013

Diari, Wulan Ingin Sekolah

Oleh: Muhammad Mansur
       Tumpukan sampah yang terletak di sudut-sudut pemukiman penduduk menjadi sesuatu yang harus dihadapinya setiap harinya. Wanita paruh baya berbaju kumal dan anaknya perempuan lulusan SMP itupun  mengais-ngais rezeki diantara tumpukan sampah nan bau itu. Dengan cucuran keringat di wajah dan lehernya, keduanya berusaha mengumpulkan botol-botol bekas untuk ditukarkan dengan uang receh guna menyambung hidupnya. Sejak ditinggal mati suaminya, ibu satu anak ini harus memperjuangkan hidupnya dengan menjadi pemulung sampah bersama anak perempuanya. Ibu paruh baya ini sengaja memberi nama anak perempuannya dengan nama Kartini Wulandari dengan harapan ia menjadi sosok yang tegar seperti RA. Kartini yang berjuang demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
            Namun, semenjak kepergian ayahnya. Ia pun tak bisa melanjutkan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Padahal, ketika SMP, Kartini merupakan sosok siswa yang berprestasi dan menonjol kemampuanya dalam hal menulis. Hobinya menulis diari sejak SD  menjadikannya ia menjuarai berbagai perlombaan kepenulisan tingkat SMP. Namun, naas..semuanya berhenti sampai ia lulus SMP. Dengan alasan keterbatasan biaya, ia tak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Dan ia pun memutuskan untuk membantu ibunya menyambung hidupnya.
            Rumah yang kumuh di bantaran sungai Code menjadi tempat melepas lelah dan kepenatan hidup. Wulan dan ibunya sudah biasa tinggal bersama para pemulung lainnya dan juga para preman-preman Jogja yang terkenal brutal. 
            Setelah seharian, Wulan dan Ibunya mengais rezeki di tengah tumpukan sampah. Malam hari yang dingin pun melelapkan keduanya di sebuah rumah yang kumuh di bantaran sungai Code. Di tengah lelapnya tidur, Wulan pun bermimpi bersekolah bersama teman-temannya. Bercanda dengan teman-temannya, bertegur sapa dengan bapak ibu guru. Mengenakan seragam sekolah dengan rapi dengan sepatu yang baru. Ketika itu, tiba-tiba Wulan pun terbangun. Ia pun menangis, ternyata yang ia alami adalah sebuah mimpi yang tak nyata. Tetesan air matanya pun keluar deras dari kedua kelopak matanya.
            Wulan pun bergegas mengambil buku diarinya dan sekedar mencoretkan keresahan hatinya di buku diari warna biru itu.
            Ya Allah...aku mimpi bersekolah.
            Tapi kenapa ini hanya mimpi Ya Allah
            Aku ingin bersekolah seperti teman-teman.
            Bisa bercanda tawa, bertegur sapa
            Belajar bersama dan tentunya mendapatkan banyak ilmu.
            Ya Allah...aku ingin seperti anak-anak orang kaya itu.
            Bisa bersekolah dengan seragam yang bagus dan bersepatu.
            Ya Allah...berikan jalan keluar agar aku bisa bersekolah.
            Aku pingin sekolahhhhhh.....
                                                                                                Yogyakarta, 21 April 2013
           
Tak henti-hentinya ia menangis sambil menatap ibunya yang terlelap tidur. Ia tatap mata ibunya yang mulai sayu dan kulit keriput yang mulai tampak di dalam raut wajahnya. Ia tak tega melihat ibunya yang bekerja keras demi menyambung hidupnya.
Ya Allah...kasihan sekali ibu. Ibu semakin tua..untuk hidup saja susah, apalagi untuk bersekolah.” Batinnya pun berbicara seraya merenungi nasibnya yang tak seuntung kawan-kawannya.
***
Keesokan harinya...
Wulan dan ibunya kembali bergegas menuju  tumpukan-tumpukan sampah yang ada di sudut perkotaan. Batin Wulan menangis, ketika melihat teman-teman sebayanya berangkat sekolah. Ada yang  jalan kaki, naik sepeda, diantar dengan sepeda motor, bahkan dengan mobil mewah sekalipun. Wulan iri kepada teman sebayanya yang bisa mengenyam pendidikan yang sewajarnya.
“Kamu kenapa nak, kok terlihat sedih.” Tanya ibunya.
“Wulan ingin sekolah bu..seperti mereka.” Jawab wulan dengan raut muka sedih.
“Sudah nak...kamu jangan sedih, semoga suatu saat ada rezeqi dari Allah untuk kamu sekolah. Allah maha adil nak...” Tutur sang ibu menenangkan hati anaknya.
“Iya bu...amin.”
Setelah usai memunguti botol-botol bekas, ia pun mengeluarkan buku diari birunya dari dalam kantung kecil yang ia bawa. Sekedar hanya menuliskan keinginannya untuk bersekolah.
***
Keesokan harinya...
Ia mengalami hal yang sama, batinnya menangis ketika melihat teman sebayanya bisa bersekolah sedangkan dia harus memperjuangkan nasibnya untuk sekedar mencari sesuao nasi untuk menyambung hidupnya.
Kejadian itu pun selalu berulang-ulang ia alami, setiap pagi batinnya sakit ketika melihat temen sebayanya bisa bersekolah.  Wulan pun selalu menuliskan keresahan hatinya dalam sebuah diari kecil kesayangannya. Sampai-sampai diarinya hanya terpenuhi oleh goresan tangannya yang mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk bisa bersekolah.

***
Suatu malam, ibunya sakit. Sang ibu pun hanya bisa berbaring didalam rumah beralaskan tikar sederhana. Tak ada tempat tidur atau sofa di rumah kumuh yang mereka tinggali.
Ketika Wulan hendak membelikan makanan untuk ibunya yang sedang sakit. Tiba-tiba ada sejumlah preman yang mabok-mabokkan di jalan. Mereka pun menghadang Wulan. Dengan keterbatasannya, Wulan tak bisa berkutik di keroyok oleh sejumlah preman yang jumlahnya lebih dari 3 itu. Mereka menyeret Wulan kedalam rumah kosong. Rupanya preman-preman yang terpengaruh miras itu hendak melakukan perbuatan tak senonoh.  Wulan pun berusaha dengan sekuat tenaga berusaha menjerit dengan sekeras-kerasnya dan berusaha lepas dari jeratan preman-preman itu. Gerombolan preman itu pun menganiyayanya dengan pukulan keras, mukanya dan badannya pun memar terkena hempasan tangan-tangan para preman.
Untung warga sekitar pemukiman ada yang mendengar teriakan Wulan. Dan segera masuk ke rumah kosong itu, lalu segera menyelamatkan Wulan. Preman-premanpun sempat beradu fisik dengan warga, namun wargapun  ada yang dengan tanggap memberitahuka  kejadian ke polisi. Sehingga polisi pun dengan segera datang dan meringkus para preman yang hendak berbuat tak senonoh kepada Wulan.
            Hati Wulan pun semakin bergejolak dan trauma atas kejadian yang menimpanya. Ia merasakan sakit fisik dan mental. Sakit fisik karena badannya tersakiti oleh preman, sakit mental karana trauma akan perbuatan tak senonoh yang akan di perbuat para preman kepada dirinya. Namun, untung saja ada warga yang menolongnya.
***
Dengan kondisi ibunya yang sedang sakit dan badannya yang memar karena dianiaya para preman. Pada keesokan harinya Wulan tetep melakukan aktifitas rutinnya memunguti botol-botol bekas di tumpukan sampah di sudut-sudut kota.
Menjelang siang pun ia beristirahat di bawah pohon sambil menuliskan pengalaman pahitnya di dalam sebuah diari birunya. Isi diarinya pun penuh dengan rasa keinginannya untuk sekolah dan gejolak-gejolak hati yang menyedihkan. Tak ada satu pun yang menyenangkan. Sungguh malang sekali, nasib gadis itu.
            Terik panas matahari pun semakin menyengat, perut pun semakin keroncongan. Wulan memutuskan untuk mencari makan siang dengan uang receh yang tak banyak hasil penukaran botol bekas di pengepul sampah plastik. Setelah selesai, ternyata Wulan tak menyadari kalau buku diarinya tertinggal di sudut warung makan. Ia baru sadar kalau bukunya tertinggal setelah ia sampai rumah.
Ia pun bergegas kembali ke warung makan tadi untuk mengambil buku diari kesayanganya. Tapi ternyata, setelah Wulan kembali ke warung makan, ia sudah tak menemui diari kesayangannya. Wulan pun pulang dengan hati yang sedih, bagaimana tidak tempat curahan hatinya selama ini menghilang. Diari itu merupakan hal yang paling bermakna dalam hidupnya.
Ternyata diari itu ditemukan dan dibawa oleh Kepala MA Wahid Hasyim Yogyakarta. Beliau adalah Bapak. Agus Baya Umar, M.Pd.I. Beliau menemukannya saat makan siang di warung makan yang bersangkutan dengan rekan-rekan guru.
Setelah Bapak Agus membaca tulisan yang ada di dalam diari tersebut. Beliau sangat trenyuh dan sangat tergerak hatinya untuk mencari keberadaan anak itu untuk di sekolahkan di MA Wahid Hasyim Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim dengan beasiswa pesantren.
***
Keesokan harinya, bapak Agus bergegas mencari alamat yang tertulis dalam diari tersebut. Tak butuh waktu lama untuk mencari alamat rumah tersebut. Beliau mengatakan hendak menyekolahkan Wulan secara gratis di MA Wahid Hasyim melalui beasiswa pesantren.
Wulan sangat bahagaia dan takjub mendengarkan orang yang tak di kenalnya ingin menyekolahkannya secara gratis, berkat membaca tulisan di diarinya.
“Horeee..horeee..aku bisa sekolah....!!!
“Alhamdulillah ya Allah...kau memang maha adil.
Wulan bersorak kegirangan bisa bersekolah seperti teman-temannya. Kini mimpinya menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar hayalan.
Ibunya yang sedang sakit pun hanya bisa tersenyum melihat putrinya bisa kembali bersekolah.

1 tahun kemudian....
Tak butuh waktu lama untuk Wulan untuk kembali berprestasi. Dalam kurun waktu satu tahun Wulan berhasil mewakili lomba karya ilmiah mewakili MA Wahid Hasyim. Dan berhasil menyabet juara 1 dalam lomba karya ilmiah yang diadakan oleh Kemendibud.
Wulan pun menjadi terkenal, berkat prestasinya menjuarai karya ilmiah tingkat nasional. Media massa dan elektronikpun mempublikasikan kejuaaraanya. Ia pun mendapatkan penghargaan dari presiden. Santunan beasiswa yang Wulan terima pun bisa menjadikan kondisi hidupnya bersama ibunya lebih baik. Ibunya bisa berobat ke rumah sakit dan sembub seperti sedia kala.
            Ternyata, semua orang berhak mengenyam pendidikan. Entah itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, semuanya berhak mendapatkan pendidikan. Dan ternyata dengan keterbatasannya dari kalangan tak mampu, Wulan mampu menunjukkan prestasinya di kancah nasional. 

Yogyakarta, 21 April 2013 [23:26]
Bertepatan dengan hari Kartini. Selamat hari KARTINI                                                           

Tidak ada komentar: