Haji dan Perilaku Korupsi
Banyak orang bertanya-tanya, kenapa
para koruptor di negeri ini kebanyakan sudah menunaikan ibadah haji? Sebut saja
mereka para aktivis partai yang katanya ingin mengabdikan diri untuk bangsa
ini, tak sedikit dari mereka sudah bertitle “haji”, bahkan sudah berkali
kali menunaikan ibadah ke tanah suci. Lalu, kenapa tindakan korupsi masih saja mereka
kakukan. Bukankah mereka sudah melengkapi rukun islamnya dengan berhaji?
Pertanyaan diatas sudah sepatutnya
kita renungkan bersama. Apakah ada yang salah dengan ibadah haji yang dilakukan
oleh para jamaah haji di Indonesia? Sebenarnya ini menyangkut pribadi
masing-masing orang. Namun, apa salahnya kita mengoreksi bersama bagaimana
tindakan amoral yang dilakukan oleh orang yang bertitle haji itu terus
dilakukan.
Yang menjadi sorotan pertama kali
adalah bahwa saat ini haji hanya dipandang dari segi ritual semata bukan pada
aspek maqoshid/ maksud dan tujuan ibadah haji itu sendiri. Semuanya berhenti
sebatas pelakasanaan ritual peribadatan fisik, belum pada aspek pemaknaan dan
refleksi ibadah haji dalam sendi sendi kehidupan. Dengan demikian, para jamaah
pun mempunyai niatan yang berbeda beda dalam menunaikan ibadah haji. Ada yang
hanya ingin menaikkan status sosial dengan menyandang gelar haji/ hajjah, ingin
unjuk kekayaan kepada orang lain, atau niatan niatan lain yang semestinya itu
dikubur dalam-dalam.
Memang, kita tidak bisa serta merta
menyalahkan para jamaah haji, karena memang tidak semua lembaga bimbingan haji
menjelaskan hakikat dan makna ibadah haji itu sendiri secara mendalam. Kebanyakan
hanya berhenti pada tata cara peribadatan haji. Hal demikian mengakibatkan tak
ada perubahan moralitas yang lebih baik antara sebelum dan sesudah melakukan
ibadah haji. Al hasil, para pejabat pemerintah yang sudah bertitle haji pun
masih saja melakukan tindakan bejat berupa korupsi. Hal ini tentunya harus
disorot tajam oleh para penyelenggara ibadah haji. Dalam hal ini Kementrian Agama (Kemenag) ataupun pihak lembaga bimbingan haji harus benar-benar menaruh
perhatian khusus pada aspek ini. Dengan demikian, haji tak hanya sebatas aspek
ritual peribadatan namun juga berimbas pada perubahan tingkah laku.
Pelurusan Niat
Haji sebagai ibadah yang mulia
haruslah didasarkan pada niatan karena mencari ridho Allah dalam rangka memenuhi
panggilan Allah. Ibadah haji bukan semata untuk mendapatkan title haji yang
menyebabkan riya’. Seyogyanya orang yang benar-benar ikhlas melaksanakan
ibadah haji tak akan marah ketika namanya tak dipanggil dengan sebutan haji. Tapi,
terkadang realitas yang ada sekarang, masih ada saja orang yang kurang berkenal
jika tak dipanggil dengan gelar haji. Niat inilah sebenarnya yang harus
dibenahi. Sejak awal sebelum jamaah haji
berangkat ke tanah suci haruslah terlebih dahulu meluruskan niat karena
memenuhi panggilan Allah SWT, bukan karena sebab riya’ kepada manusia.
Pemahaman Ritual Haji
Ibadah haji merupakan puncak
spritual yang kegiatannya paling kompleks. Mulai dari kegiatan fisik, lisan dan
rohani serta pengorbanan jiwa dan raga. Artinya semua aspek tercakup dalam
ibadah haji. Dalam ritual haji harusnya dimaknai dengan benar. Tak sebatas pada
prosesi lahiriah formal tapi bagaimana menjadi sebuah moment revolusi diri baik
aspek lahir ataupun batin.
Tentunya bila ditelisik lebih
lanjut terdapat sebuah makna dari ritual ibadah haji. Ritual haji dijalankan
sebagai wujud penghambaan hamba terhadap sang Kholiq. Dan jika ditelusuri,
ternyata terdapat berbagai hikmah yang bisa dipetik dari ritual ibadah haji. Itu
semua harusnya bisa memberikan makna yang mendalam kepada jamaah haji. Dan ini
merupakan salah satu tugas utama pihak penyelenggara haji dan lembaga bimbingan
haji untuk tidak sekedar mengajari tata cara peribadatan, tapi juga pemaknaan
ritual haji itu sendiri. Dengan demikian, setelah pulang dari ibadah haji bisa
menjadi pribadi yang semakin taqwa, unggul dan bermoral sehingga tak ada lagi
tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah yang bertitle
haji.
*)Muhammad
Mansur, S.Pd.I, mahasiswa Pasca Sarjana
UIN Suka, santri Ma’had Aly PP. Wahid Hasyim Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar