Mari Belajar Matematika Korupsi
Kegelisahan masyarakat Indonesia semakin dalam menyusul berita korupsi yang
tak pernah usai diberitakan media massa ataupun elektronik. Satu per satu elit
politik, pemangku kekuasaan terjerat dalam kasus korupsi yang semakin menjadi
jadi. Uang seakan sudah menjadi Tuhan. Dengan uang apa saja bisa dilakukan.
Bahkan, wanita pun bisa dibeli dengan uang. Mungkin itulah pola pikir para
koruptor negeri ini. Dengan demikian, para pejabat pemerintah menggunakan
kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya selama ia menjabat.
Jika dihitung-hitung, gaji para pejabat pemerintah tak akan cukup untuk
membeli sejumlah mobil mewah dan rumah megah tanpa melakukan sebuah tindakan
bernama korupsi. Kalau dihitung, gaji selama ia menjabat tak akan bisa
menutup biaya pencalonannya untuk bisa meraih kursi empuk di pemerintahan.
Lalu, korupsilah yang menjadi satu-satunya jalan untuk menutup biaya-biaya yang
telah begitu banyak dikeluarkan demi sebuah kekuasaan. Itulah namanya
matematika korupsi. Pengeluaran yang besar harus ditutup dengan pemasukan yang
besar pula.
Satu hal yang perlu di soroti adalah kenapa korupsi ini terus terjadi di
negeri ini? Terlebih dilakukan oleh kaum muslim yang tidak sepi dari pelajaran
agama. Bisa dipastikan sejumlah tikus-tikus koruptor pernah mengenyam
pendidikan agama. Bukankah agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan?
Revolusi Theologis
Satu hal yang terkadang menjadi salah adalah karena pemahaman akan agama
yang kurang pas. Dalam agama Islam disebutkan bahwa jumlah dosa setara dengan
perbuatan dosa yang dilakukan, sedangkan dalam urusan pahala, Tuhan melipat
gandakan pahala bagi pelakunya. Bahkan, untuk pahala bersedekah konon bisa
dilipatgandandakan sampai 700 kali apalagi dilakukan di bulan Ramadhan. Teks
agama mengatakan seperti itu.
Lebih mudahnya, ibarat orang korupsi 100 juta maka ia mendapatkan balasan
dosa yang disetarakan 100 juta. Lalu dia bershodaqah 10 juta saja, maka bisa
dipastikan ia akan mendapatkan pahala 7 milyar. Kemudian, dalam agama
Islam ada sebuah pemahaman bahwa amal manusia nantinya akan ditimbang di
akhirat. Barang siapa yang timbangan pahalanya lebih besar dari dosanya maka
akan masuk surga, pun sebaliknya jika timbangan dosanya lebih banyak dari
pahalanya maka akan masuk neraka. Kalau kita menghitung hitung pahala orang
korupsi 100 juta dengan menyedekahkan 10 juta harta korupsinya, maka akan
mendapatkan hasil yang mengejutkan. Berdasarkan hitungan matematis di atas,
maka akan menghasilkan pahala yang lebih banyak dari pada dosanya. Dengan
demikian, para koruptor akan masuk surga lantaran pahalanya lebih banyak dari
dosanya. Bisa jadi, pemahaman demikianlah yang dipahami para koruptor sehingga terus saja melalukan tindakan korupsi.
Tentunya, dalam memahami agama tidak boleh sedangkal itu. Inilah sebenarnya
yang harus dirubah, melakukan sebuah revolusi theologis. Sebuah pembenahan
pemahaman-pemahaman ajaran Ketuhanan yang salah penafsiran. Tuhan tak mungkin
mengingkari janjinya, apapun perbuatan manusia akan mendapat balasan yang
setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Begitu pula, balasan bagi para
koruptor di akhirat nanti. Kebanyakan orang hanya sebatas mengenal Tuhan dan
sifat-sifatnya, namun tak menyadari akan hadirnya Tuhan yang akan selalu
mengawasinya. Jikalau, para pejabat pemerintah sadar akan hadirnya Tuhan yang
selalu mengawasinya. Maka apapun yang dilakukan akan sesuai dengan ajaranNya
dan tak akan ada lagi tindakan korupsi di negeri ini.
*) Muhammad Mansur, Peneliti di Prodi Pendidikan Islam pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar