Senin, 16 Desember 2013

Mari Belajar Matematika Korupsi (METRO RIAU, 16/ 12/ 13)


Mari Belajar Matematika Korupsi

Kegelisahan masyarakat Indonesia semakin dalam menyusul berita korupsi yang tak pernah usai diberitakan media massa ataupun elektronik. Satu per satu elit politik, pemangku kekuasaan terjerat dalam kasus korupsi yang semakin menjadi jadi. Uang seakan sudah menjadi Tuhan. Dengan uang apa saja bisa dilakukan. Bahkan, wanita pun bisa dibeli dengan uang. Mungkin itulah pola pikir para koruptor negeri ini. Dengan demikian, para pejabat pemerintah menggunakan kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya selama ia menjabat.
Jika dihitung-hitung, gaji para pejabat pemerintah tak akan cukup untuk membeli sejumlah mobil mewah dan rumah megah tanpa melakukan sebuah tindakan bernama korupsi. Kalau dihitung,  gaji selama ia menjabat tak akan bisa menutup biaya pencalonannya untuk bisa meraih kursi empuk di pemerintahan. Lalu, korupsilah yang menjadi satu-satunya jalan untuk menutup biaya-biaya yang telah begitu banyak  dikeluarkan demi sebuah kekuasaan. Itulah namanya matematika korupsi. Pengeluaran yang besar harus ditutup dengan pemasukan yang besar pula.
Satu hal yang perlu di soroti adalah kenapa korupsi ini terus terjadi di negeri ini? Terlebih dilakukan oleh kaum muslim yang tidak sepi dari pelajaran agama. Bisa dipastikan sejumlah tikus-tikus koruptor pernah mengenyam pendidikan agama. Bukankah agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan?
Revolusi Theologis
Satu hal yang terkadang menjadi salah adalah karena pemahaman akan agama yang kurang pas. Dalam agama Islam disebutkan bahwa jumlah dosa setara dengan perbuatan dosa yang dilakukan, sedangkan dalam urusan pahala, Tuhan melipat gandakan pahala bagi pelakunya. Bahkan, untuk pahala bersedekah konon bisa dilipatgandandakan sampai 700 kali apalagi dilakukan di bulan Ramadhan. Teks agama mengatakan seperti itu.
Lebih mudahnya, ibarat orang korupsi 100 juta maka ia mendapatkan balasan dosa yang disetarakan 100 juta. Lalu dia bershodaqah 10 juta saja, maka bisa dipastikan ia akan mendapatkan pahala 7 milyar.  Kemudian, dalam agama Islam ada sebuah pemahaman bahwa amal manusia nantinya akan ditimbang di akhirat. Barang siapa yang timbangan pahalanya lebih besar dari dosanya maka akan masuk surga, pun sebaliknya jika timbangan dosanya lebih banyak dari pahalanya maka akan masuk neraka. Kalau kita menghitung hitung pahala orang korupsi 100 juta dengan menyedekahkan 10 juta harta korupsinya, maka akan mendapatkan hasil yang mengejutkan. Berdasarkan hitungan matematis di atas, maka akan menghasilkan pahala yang lebih banyak dari pada dosanya. Dengan demikian, para koruptor akan masuk surga lantaran pahalanya lebih banyak dari dosanya. Bisa jadi, pemahaman demikianlah yang dipahami para koruptor sehingga terus saja melalukan tindakan korupsi.
Tentunya, dalam memahami agama tidak boleh sedangkal itu. Inilah sebenarnya yang harus dirubah, melakukan sebuah revolusi theologis. Sebuah pembenahan pemahaman-pemahaman ajaran Ketuhanan yang salah penafsiran. Tuhan tak mungkin mengingkari janjinya, apapun perbuatan manusia akan mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Begitu pula, balasan bagi para koruptor di akhirat nanti. Kebanyakan orang hanya sebatas mengenal Tuhan dan sifat-sifatnya, namun tak menyadari akan hadirnya Tuhan yang akan selalu mengawasinya. Jikalau, para pejabat pemerintah sadar akan hadirnya Tuhan yang selalu mengawasinya. Maka apapun yang dilakukan akan sesuai dengan ajaranNya dan tak akan ada lagi tindakan korupsi di negeri ini.


                                                *) Muhammad Mansur, Peneliti di Prodi Pendidikan                                                        Islam pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga                                                                                                                      Yogyakarta

Tidak ada komentar: