Senin, 16 Desember 2013

Perlunya Karakter Kuat Pelajar (Harian Jogja, 12 / 06 / 12)


Perlunya Karakter Kuat Pelajar

Kota Jogja adalah kota yang representatif untuk konteks Indonesia sebagai kota pelajar. Namun, mahkota kota pelajar yang sejak dahulu disandangnya kini terancam tumbang. Yogya sebagai kota pelajar tersebut, ibarat tubuh, kini tengah dirasuki oleh virus yang mengancam sistem kekebalan tubuhnya. Virus ini tidak lain adalah tingkah laku pelajar itu sendiri. Sebuah budaya konsumerisme dan hedonisme telah menjangkit pelajar kita. Hal itu seakan-akan menggerus citra Jogja sebagai kota pelajar.
Ditengah prestasi nilai kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini yang mengalami menurun, pola hidup kalngan pelajar terus dihinggapi budaya konsumerisme dan hedonisme. Kalangan pelajar tidak lagi disibukkan dengan kegiatan-kegiatan menyangkut keilmuan, mereka malah menyibukkan diri pada kegiatan kegiatan yang bersifat hiburan atau senang-senang semata tanpa menanggung beban tanggungjawabnya yang dipikul sebagai seorang pelajar. Kita bisa lihat sepintas, bagaimana aksi pelajar kita ketika kelulusan UN diumumkan. Mereka mengekspresikan rasa senangnya dengan aksi corat-coret, konvoi kendaraan, menghambur-hamburkan uang untuk berpesta bahkan tawuran pelajar. Selepas kelulusan pun mereka melampiaskan masa jenuhnya ketika menghadapi UN dengan ngegame sepuasnya. Diluar itu semua, pelajar kita saat ini lebih diasyikkan dengan budaya belanja dibanding dengan belajar. Bukankan itu semua budaya konsumerisme dan hedonisme?
Akibat dari budaya konsumerisme dan hedonisme dikalangan pelajar dapat berimbas pada kemerosotan kualitas pelajar kita, tidak hanya pada segi keilmuan tetapi juga pada segi tingkah laku dan  moralitas. Melihat fenomena yang ada, dibutuhkan sebuah benteng diri agar terbebas dari belenggu konsumerisme dan hedonisme. Disinilah peran pendidikan agama dalam membentengi diri pelajar dari budaya konsumerisme yang cenderung hedonis dan materialis. Pendidikan agama dimasing masing sekolah harus benar- benar berperan dalam membangun kesadaran dalam menghilangkan budaya konsumerisme dan hedonisme dalam diri pelajar. Dalam hal ini, pelajar juga harus bisa selektif dalam pergaulan, karena teman bergaul akan memberikan efek yang besar dalam tingkah laku kita. Teman sepergaulan yang mempunyai pola hidup hedonis, akan berpengaruh pada pola hidup kita juga yang juga akan bersikap hedonis.
Benteng diri tadi berkaitan erat dengan karakter. Penguatan karakter sangat dibutuhkan dalam mengubah gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Pemahaman untuk menjauhi budaya konsumerisme dan hedonisme mutlak diperlukan. Seorang pendidik di sekolah, tidak hanya sekedar mentrasfer pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga harus transfer nilai (trasfers of value). Karena nilai-nilai itulah nantinya yang akan menjadi kristal nilai yang membentuk karakter seseorang untuk menjauhi budaya konsumerisme dan hedonisme. Tidak hanya peran pendidik di sekolah, tetapi juga peran orang tua dalam memperkuat karakter putra putrinya. Dimulai dari orang tua, harus bisa memberikan teladan bagi putra-putrinya untuk tidak bergaya  hidup konsumerisme dan hedonisme. Satu contoh, ketika orang tuanya mempunyai pola hidup yang serba berkemewahan, maka anaknya pun juga akan mempunyai pola hidup mewah. Karena orang tua sebagai teladan bagi anak-anaknya.
Jika memang para pendidik dan juga orang tua bisa bekerja sama dalam menanamkan karakter pada anak terlebih sejak usia dini. Maka budaya konsumerisme dan hedonisme akan sirna dalam diri pelajar kita. Dan jikalau para pelajar ingin mempertahankan citra Jogja sebagai kota pelajar atau kota pendidikan, maka jadilah pelajar yang baik sebagaimana orang terdidik. Baik buruk kota Jogja ada ditangan kita semua. Untuk itu, hancurkan budaya konsumerisme dan hedonisme. Dan mulailah untuk menjadi pelajar yang baik demi Jogja, kota pelajar tercinta.

*)Muhammad Mansur, mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: