Perlunya Karakter
Kuat Pelajar
Kota Jogja adalah kota yang representatif untuk konteks
Indonesia sebagai kota pelajar. Namun, mahkota kota pelajar yang sejak dahulu
disandangnya kini terancam tumbang. Yogya sebagai kota pelajar tersebut, ibarat
tubuh, kini tengah dirasuki oleh virus yang mengancam sistem kekebalan
tubuhnya. Virus ini tidak lain adalah tingkah laku pelajar itu sendiri. Sebuah budaya konsumerisme dan hedonisme telah menjangkit
pelajar kita. Hal itu seakan-akan menggerus citra Jogja sebagai kota pelajar.
Ditengah prestasi nilai kelulusan Ujian Nasional (UN)
tahun ini yang mengalami menurun, pola hidup kalngan pelajar terus dihinggapi
budaya konsumerisme dan hedonisme. Kalangan pelajar tidak lagi disibukkan
dengan kegiatan-kegiatan menyangkut keilmuan, mereka malah menyibukkan diri
pada kegiatan kegiatan yang bersifat hiburan atau senang-senang semata tanpa
menanggung beban tanggungjawabnya yang dipikul sebagai seorang pelajar. Kita
bisa lihat sepintas, bagaimana aksi pelajar kita ketika kelulusan UN diumumkan.
Mereka mengekspresikan rasa senangnya dengan aksi corat-coret, konvoi
kendaraan, menghambur-hamburkan uang untuk berpesta bahkan tawuran pelajar.
Selepas kelulusan pun mereka melampiaskan masa jenuhnya ketika menghadapi UN
dengan ngegame sepuasnya. Diluar itu semua, pelajar kita saat ini lebih
diasyikkan dengan budaya belanja dibanding dengan belajar. Bukankan itu semua
budaya konsumerisme dan hedonisme?
Akibat dari budaya konsumerisme dan hedonisme dikalangan
pelajar dapat berimbas pada kemerosotan kualitas pelajar kita, tidak hanya pada
segi keilmuan tetapi juga pada segi tingkah laku dan moralitas. Melihat fenomena yang ada, dibutuhkan
sebuah benteng diri agar terbebas dari belenggu konsumerisme dan hedonisme.
Disinilah peran pendidikan agama dalam membentengi diri pelajar dari budaya
konsumerisme yang cenderung hedonis dan materialis. Pendidikan agama dimasing
masing sekolah harus benar- benar berperan dalam membangun kesadaran dalam
menghilangkan budaya konsumerisme dan hedonisme dalam diri pelajar. Dalam hal
ini, pelajar juga harus bisa selektif dalam pergaulan, karena teman bergaul
akan memberikan efek yang besar dalam tingkah laku kita. Teman sepergaulan yang
mempunyai pola hidup hedonis, akan berpengaruh pada pola hidup kita juga yang
juga akan bersikap hedonis.
Benteng diri tadi berkaitan erat dengan karakter.
Penguatan karakter sangat dibutuhkan dalam mengubah gaya hidup konsumerisme dan
hedonisme. Pemahaman untuk menjauhi budaya konsumerisme dan hedonisme mutlak
diperlukan. Seorang pendidik di sekolah, tidak hanya sekedar mentrasfer
pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga harus transfer nilai (trasfers
of value). Karena nilai-nilai itulah nantinya yang akan menjadi kristal
nilai yang membentuk karakter seseorang untuk menjauhi budaya konsumerisme dan
hedonisme. Tidak hanya peran pendidik di sekolah, tetapi juga peran
orang tua dalam memperkuat karakter putra putrinya. Dimulai dari orang tua,
harus bisa memberikan teladan bagi putra-putrinya untuk tidak bergaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Satu
contoh, ketika orang tuanya mempunyai pola hidup yang serba berkemewahan, maka
anaknya pun juga akan mempunyai pola hidup mewah. Karena orang tua sebagai
teladan bagi anak-anaknya.
Jika memang para pendidik dan juga orang tua bisa bekerja
sama dalam menanamkan karakter pada anak terlebih sejak usia dini. Maka budaya
konsumerisme dan hedonisme akan sirna dalam diri pelajar kita. Dan jikalau para
pelajar ingin mempertahankan citra Jogja sebagai kota pelajar atau kota
pendidikan, maka jadilah pelajar yang baik sebagaimana orang terdidik. Baik
buruk kota Jogja ada ditangan kita semua. Untuk itu, hancurkan budaya
konsumerisme dan hedonisme. Dan mulailah untuk menjadi pelajar yang baik demi
Jogja, kota pelajar tercinta.
*)Muhammad Mansur, mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar